Pilih Yang Mana?

Posisi komputer dan TV kami berdekatan. Lilo kerap menyalakan TV dengan acara favoritnya tetapi malah main game di komputer. Bapaknya pasti mengingatkan “Lilo, kamu pilih main game atau nonton TV?” Kalau Lilo milih game, bapaknya akan pindahkan saluran TV ke berita. Kalau Lilo pilih nonton, bapaknya akan memakai komputer.
Suatu pagi, sambil mencuci baju, bapak Lilo menyalakan laptop untuk mendengarkan lagu-lagu yang baru di-download. Sekonyong-konyong Lilo datang dan bertanya, “Bapak pilih laptop atau mencuci?” Sambil tertawa bapaknya menjawab, “mencuci Lo,” Dan laptop pun diambil alih oleh Lilo. ;))

Keong Mas

Nama ini pertama kudengar ketika aku baca Bobo pas SD. Waktu itu pernah ke Taman Mini tapi nggak sempat ke Keong Mas. Besok pertama kalinya aku akan ke sana mengantar anakku semata wayang pergi bersama teman-teman TKnya. Uh semoga menyenangkan. Seindah yang kubayangkan waktu SD dulu. Wish me luck!

Lama Gak Update

Posting terakhirku 2 Juni 2011. Semoga sekarang jadi rajin. ;-))

Lightning McQueen

Setelah menonton berkali-kali di TV, akhirnya Lilo punya VCD Cars. VCD-nya dibeli waktu jalan-jalan ke Toko Buku Gramedia MOI dengan harga fantastis, Rp 19.000,- saja. Untunglah pas pengen pas diskon! Hehehe

Sekarang Lilo mulai memutarnya terus menerus sambil menghafalkan beberapa adegan dan percakapannya. Sekalipun sudah diputar 5 kali, Lilo tetap tertawa waktu Lightning melet sewaktu mencapai garis finish. Juga sewaktu Guhdo dan Luigi pingsan ketika bertemu dengan Ferrari. Lilo beberapa googling untuk menemukan permainan tentang Cars. Dan memainkannya sambil berkhayal.

Yang saya amati pada Lilo ketika dia mengeksplorasi film ini adalah, Lilo belajar tentang makna kata sombong. Sebelumnya dia hanya tahu bahwa sombong itu negatif, jelek, nakal. Sekali waktu, saya melarang Lilo dan teman-temannya masuk ke kamar karena kamar kami baru saja dibersihkan dan Lilo sedang makan es krim waktu itu. Beberapa saat setelah itu Lilo bercerita, “Ibu tadi dikatain sombong ama teman-teman karena kita nggak boleh masuk kamar.” “Terus jawab Lilo apa?” tanya saya. “Ya, enggak lah! Ibu kan nggak sombong! Kan cuma biar nggak kotor lagi.” ;-p

Yupiter


Lilo: Bu, Ibu sayang nggak sama Bumi?
Ibu: Ya, kadang-kadang.
Lilo: Jangan kadang-kadang dong Bu. Ibu harus sayang sama bumi, kalau nggak nanti meledak lho Buminya.
Ibu: Wah, kalau meledak kita tinggal di mana dong?
Lilo: mmm, oh, aku tahu! Tinggal di planet lain aja!
Ibu: Planet kan banyak?
Lilo: Di Yupiter saja!
Ibu: Kenapa di Yupiter?
Lilo: Yupiter kan dingin. Pasti ada AC-nya.
Ibu: Yupiter kan gedhe sekali Lo!
Lilo: Iya, biar muat banyak orang. Tapi jangan pindah ke Pluto lho Bu! Soalnya cuma muat satu orang.
Ibu: OK deh!

Jakarta, Mei 2011

Lilo And Stitch

Kalau Lilo ditanya namanya, Lilo. Orang-orang sering melanjutkan, “Stitch mana?” “Kayak Kartun dong!” Padahal Lilo kan yang pandai main gitar. Hehehe Yang jelas, bedanya Lilo dan Lilo kartun jelas. Lilo cowok, laki-laki. Lilo kartun cewek alias perempuan. ;-P

Resensi Buku “Lost In Translation”

Bagaimana Laki-laki dan Perempuan Bisa Saling Memahami

Pengarang: Dr Steve Stephens
Tebal Buku: 236 Halaman
Terbitan: Gloria Graffa, Yogyakarta
Tahun Terbit: Januari 2009
Penerjemah: Herman Kosasih
Penyunting: C. Krismariana W

Laki-laki dan perempuan berbeda, itu ide utama yang ditonjolkan buku ini dalam 38 babnya. Khususnya dalam pernikahan, laki-laki dan perempuan berbeda dalam berbagai bidang, pola pikir, cara menyelesaikan masalah, nilai-nilai utama dalam hubungan, cara penyampaian ide dan keinginan, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan ini dipaparkan dengan ilustrasi yang tepat sehingga dengan tepat pula pembaca dalam mengidentifikasi masalah yang sedang dibahas.

Setiap akhir bab buku ini memberikan solusi bagi perbedaan ini yang kadang cukup ekstrim, suatu perubahan besar, tetapi lebih sering membiarkan perbedaan itu dan hanya mencoba memahaminya. Bimbingan terjemahan dan pertanyaan-pertanyaan di akhir bab menolong pembaca untuk melakukan introspeksi komunikasi pernikahan mereka secara mandiri.

Pengalaman Dr. Steven Stephens sebagai konselor pernikahan maupun pengalaman beliau dalam pernikahan yang dibagikan dalam buku ini menolong pembaca untuk memahami bahasan tiap babnya. Pembaca juga dapat diyakinkan bahwa dia tidak sendirian mengalami masalah komunikasi dalam pernikahan, tetapi banyak orang, bahkan pasangan konselor pernikahan pun mengalaminya.

Buku ini cocok dibaca oleh pasangan yang sudah melewati bulan madu mereka. Karena biasanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan baru mulai muncul ketika pernikahan sudah memasuki masa pasca bulan madu sampai sekitar lima tahun berikutnya. Sesudah itu pasangan biasanya sudah menemukan bentuk komunikasi yang pas, sehingga tidak memerlukan lagi buku seperti ini.

Buku yang menyoroti tentang komunikasi gender pasangan seperti ini sangat mudah ditemukan. Biasanya buku seperti ini ditulis oleh konselor, pendeta, atau psikolog. Daftar pertanyaan yang ada di akhir bab memang membuat buku ini berbeda dengan yang lain, namun demikian tidak mampu membuat ini istimewa mengingat pembaca tidak selalu setuju jika dikatakan pola komunikasi pernikahan mereka bermasalah.

PR Angka Dua

Sore ini Lilo bangun dari tidur siangnya agak kesorean. Seperti biasanya dia malas kalau di suruh mandi.
“Lilo, mandi!” Kataku.
“Nggak mau ah!”
“Ayo mandi, habis mandi nanti ngerjain PR! Lilo dapat PR dari bu guru kan?”
“Iya!”
“Apa PR-nya hayo?”
“Buat angka dua!” Wah, rupanya dia ingat PR dari ibu gurunya.
“Nanti mau diajari sama bapak atau sama ibu?”
“Sama ibu aja!”
“Kenapa nggak sama bapak?”
“Nanti bapak nggak bisa buat angka dua!”
Mentang-mentang belum pernah ditungguin bapaknya waktu sekolah, dia merasa bapaknya nggak bisa buat angka dua. Hehehe.
“Ya bisa lah, Lo! Bapakmu kan pinter!”

Lilo di Usia Tiga

“Nggak mau! Nggak mau dicium! Jangan! Bapak bau kecut!” Begitulah yang dikatakan anakku, Lilo ketika bapaknya mau memeluk atau menciumnya. Hari ini dia genap berusia tiga tahun. Dia sudah mulai konsisten ketika sudah memutuskan sesuatu. Tidak mau dicium dan dipeluk bapaknya itu terus dia pertahankan, dan dia akan marah jika bapaknya memaksanya.

Lilo bergabung dengan PAUD bulan lalu. Di sana, dia mulai memiliki beberapa sahabat. Azka dan Nindy, dua di antaranya. Lilo tidak selalu harus duduk dengan mereka, tetapi bila mereka datang, pasti dia sambut dan perhatikan. Dengan beberapa teman, terutama perempuan, dia menghindar. “Lilo takut, nanti dicubit,” katanya.

Melvin adalah sahabatnya di rumah. Mereka sering sekali bertengkar, tapi akan saling mencari jika salah satu dari mereka tidak ada. “Tapi, kata Bang Evin, nggak pa pa kok Bu!” Sering dia katakan ketika saya mencoba melarangnya melakukan sesuatu.

Dua hari yang lalu, ada tetangga kost kami yang pindah kamar. Beliau mengosongkan almarinya, kemudian diletakkan di depan kamar. Ketika sore menjelang, seluruh penghuni kost masih melakukan aktivitas masing-masing, tiba-tiba terdengar suara “gubrak!” “Aww!” “Evin!” “Lilo!” Beberapa ibu berteriak bersama. Saya yang saat itu selesai mandi dan masih di dalam kamar, langsung lari mencari mereka. Kedua anak itu ada di bawah almari yang rubuh ke depan. Lilo menangis keras ketika almari itu diangkat, sedangkan Evin masih diam, bingung ketika ibu dan ayahnya mengangkatnya. Gusi depan berdarah dan benjolan cukup besar di dahi, saya dapati ketika memeriksa keadaan Lilo di kamar. Evin memperoleh goresan luka yang panjang di punggungnya. Uhhff, untunglah almari kayu itu agak enteng, jadi mereka tidak memperoleh luka yang mengkhawatirkan. Namun, lingkaran biru agak benjol, pastilah akan tampak di dahi Lilo ketika dia berfoto ulang tahun yang ketiga ini. Ah, benar-benar anak laki-laki!

Ah, tiga tahun tak terasa berlalu sudah. Suka, duka, bangga, bingung, gagal, dan berhasil datang silih berganti ketika kami mendidik dan mengasuh Lilo sampai saat ini. Harapan dan angan-angan ada di benak kami, rasanya masih jauh menggapainya. Namun yang pasti, hidup kami jadi lebih berwarna tiga tahun ini. Kami berharap akan terus bertahan sampai usia kami usai.

Selamat ulang tahun, Lilo! Kami berharap kami terus mengenal Allah yang rela hati yang telah mempercayakan kamu kepada kami, oleh karena itu kami menamaimu LILO. Dan biarlah kami juga terus memuji-muji Tuhan oleh karena kamu, ketika kami mengingatmu dan memberimu nama depan MIKTAM. Dan bagimu sendiri, berusahalah untuk dapat menjadi berkat bagi orang lain karena kamu sudah diberkati oleh Allah. Maka, RADITYO nama belakangmu yang berarti matahari supaya kamu mengingatnya. Tuhan Yesus memberkatimu!

Cerita terakhir:
Di suatu siang yang gerimis, kami hendak pergi ke toko untuk membeli sesuatu. Lilo bersikeras untuk tetap berangkat dan memegang payung sendiri.
“Ah, Lilo sendiri aja, Bu!”
“Lho, kan payungnya cuma satu. Kalo Lilo yang pegang, Ibu nggak bisa ikut. Ibu kehujanan dong!”
“Ibu hujan-hujan aja!”
“Yah, nanti Ibu sakit dong! Kalo Ibu sakit gimana? Siapa yang ngrawat?”
“Nanti ibu berobat ke dokter dan Lilo yang rawat Ibu.” Untunglah hujannya belum lebat ketika angkot datang.
Sore harinya, ketika saya tiduran di kasur, Lilo menghampiri saya, “Lilo mau rawat ibu.” Dia mengambil selembar tisu, kemudian mengusap-usapkannya ke wajah saya. “Sudah, Bu! Cepat sembuh ya, Bu!” Wkwkwkwkwk.

Ketika Lilo Mulai Berdoa

Tuhan Yesus pernah mengatakan, “Barangsiapa tidak menyambut kerajaan surga seperti anak kecil, dia tidak layak masuk surga.” Awalnya saya memahami arti pernyataan itu bahwa saya harus polos tanpa memikirkan hal yang lain. Namun dalam setahun ini pemahaman pernyataan tersebut dipertajam oleh Allah, bahkan dimulai ketika saya memiliki anak.

Ketika saya dan suami mulai mengajarkan kepada anak saya untuk berdoa kepada Tuhan Yesus, dia sangat percaya bahwa apa pun permintaannya Tuhan Yesus akan mengabulkan. Saat itu usianya belum genap 2 tahun. Pernyataan-pernyataan imannya yang sederhana kadang membuat saya terharu dan sadar bahwa seharusnya saya pun beriman seperti yang dia lakukan.

Anak saya begitu mudah percaya bahwa Tuhan Yesus segera menyembuhkan sakitnya begitu selesai dia berdoa. Hal ini sangat menolong kami ketika dia menangis karena jatuh atau terluka. Sambil memegang bagian yang sakit saya ajak dia berdoa, “Tuhan Yesus, tolong sembuhkan kaki Lilo! Terima kasih! Amin!” Setelah itu, dia akan berhenti menangis dan kalau ditanya, “Sudah sembuh?” Dia akan mengangguk dan bilang “Sudah disembuhkan Tuhan Yesus!”

Suatu kali pernah anak saya mengalami muntaber yang cukup parah. Setiap kali makan akan dimuntahkan lagi dan diare yang berulang-ulang dalam sehari. Dokter memeriksanya tiap hari selama tiga hari. Dua kali obat ditambahi untuk memulihkan kondisinya. Saya sangat khawatir karena dia nampak lemas dan selalu minta digendong. Asupan makanan dan minumannya pun sangat sedikit. Saya ajak dia berdoa. Saya sendiri masih sangat khawatir sehingga terpikir oleh saya untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Ketika saya menawarkan hal itu padanya, dia berkata, ”Lilo sembuh kok Bu, disembuhkan Tuhan Yesus.” Ah, andaikan imanku sesederhana itu. Dan memang dia tidak jadi dirawat di rumah sakit karena kondisinya membaik.

Beberapa bulan yang lalu saya dan anak saya belum tinggal sekota dengan suami saya, sehingga suami saya harus pulang ke rumah tiap dua minggu sekali. Gaji yang pas-pasan membuat kami mengharap pertolongan Allah lebih atas keuangan kami, terutama pada akhir bulan. Saya mulai mengajak anak saya berdoa untuk hal itu, “Tuhan Yesus, tolong kami, supaya bapak memiliki cukup duit untuk membeli tiket kereta untuk pulang ke Jogja. Terima kasih Tuhan Yesus, Amin!” Respon iman dia untuk hal ini pun kadang membuat saya terenyuh. Pernah suatu saat, ketika kami sedang mendoakan uang tiket tersebut, dia bermain dan menemukan beberapa lembar ribuan di dompet saya, dia lari dan berteriak, “Bu, ini ada duit buat beli tiket bapak!” Oh! Setelah itu jika dia mendapati saya sedang murung, dia akan berkata, “Ibu nggak punya duit ya? Yuk berdoa pada Tuhan Yesus!” Dan syukur pada Allah, suami saya melalui berbagai macam cara selalu bisa pulang pada waktunya.

Kemudian anak saya mulai mengerti bahwa dia bisa mendoakan orang-orang yang dia kenal dan benda-benda di sekelilingnya. Pernah suatu kali kami meminjam kamera digital milik adik saya. Suami saya membiarkan dia bermain dengan kamera itu sehingga dia bisa melihat hasil bidikannya sendiri. Ketika kamera itu sudah dikembalikan, dia kembali ingat dan minta bermain kembali, “Pak, Lilo mau foto-foto!” “Lho, kameranya kan sudah dikembalikan!” kata suami saya. “Jangan, Lilo mau kamera!” “Lho itu kan kamera Om Nor, kalau Lilo ingin punya kamera, Lilo harus berdoa dulu!” Rupanya suami saya ingin menggunakan kesempatan itu untuk mengajar anak saya. “Ayo Pak, kita berdoa!” Suami saya pun menyetujui. “Tuhan Yesus, Lilo berdoa supaya Lilo bisa mempunyai sebuah kamera digital, agar Lilo bisa foto-foto!” Suami saya memimpinnya berdoa, “Terima kasih Tuhan Yesus. Amin!” Dan respon spontannya, “Mana kameranya?”

Anak saya sangat tertarik dengan ikan. Kami memasang sebuah games tentang ikan dalam komputer kami. Di akhir beberapa levelnya ditunjukkan siluet ikan besar yang nantinya akan menjadi musuh di level tertinggi. Di atas kepala siluet ikan terdapat tanda tanya berwarna putih. Latar belakang musiknya yang seram membuat anak saya takut walaupun dia menantikan saat siluet ikan itu lewat.

Di rumah yang sekarang kami tinggali, kami menempati kamar di lantai dua. Jika kami akan masuk kamar, kami harus melewati sebuah ruangan terbuka yang lampunya dinyalakan bila dibutuhkan saja. Saat itu suami ada di kamar dan anak saya akan naik tangga dan merasa ngeri dengan ruangan gelap itu, dia berteriak, “Pak, Lilo takut tanda tanya!” dan suami saya kemudian turun, menggandengnya menaiki tangga dan masuk ke kamar. Kemudian saya menjelaskan ke dia, “Lilo kalau merasa takut, berdoalah pada Tuhan Yesus supaya Tuhan Yesus menemani Lilo sehingga Lilo nggak takut lagi!” “Ayo kita berdoa” katanya. “Tuhan Yesus, saat ini Lilo merasa takut. Tolong Lilo, temani Lilo supaya tidak takut lagi. Terima kasih Tuhan Yesus. Amin!” Sejak saat itu, ketika dia melewati ruangan itu, dia akan berkata, “Lilo nggak takut tanda tanya lagi. Karena Tuhan Yesus menemani Lilo!”

Saat ini usia Lilo 2 tahun 8 bulan, dan dia sedang berdoa untuk rumah baru. Terjadilah apa yang menjadi imannya. Dan saya pun belajar beriman seperti iman anak saya.

« Older entries